Kadang kehilangan adalah jalan pulang menuju Allah. Kadang hidup membawa kita ke jalan yang sempit. Apa yang kita punya hilang, apa yang kita genggam lepas, apa yang kita andalkan runtuh. Saat itu kita merasa kecil, rapuh, dan tak punya arah. Tapi justru di momen seperti itu kita diajak sadar: ternyata selama ini kita terlalu bersandar pada sesuatu yang fana sprti harta, manusia, atau kedudukan. Padahal semua itu bisa hilang sekejap.
Manusia modern sering diajari untuk kuat, untuk “move on”, untuk tidak kalah oleh keadaan. Tapi dalam upaya menjadi tangguh itu, kita sering menolak kenyataan bahwa kehilangan adalah bagian dari rancangan hidup yang sakral. Kita kira kehilangan itu kutukan, padahal bisa jadi itu undangan, undangan agar kita kembali menyadari siapa sebenarnya yang memegang kendali.
Lihat saja dunia hari ini: begitu banyak orang berlari tanpa arah, mengejar validasi, karier, atau cinta, seolah semua itu bisa menambal lubang di dada. Padahal lubang itu bukan untuk diisi oleh dunia, tapi oleh makna. Oleh kehadiran yang lebih tinggi dari diri kita. Oleh Allah.
Kita hidup di zaman di mana kehilangan dianggap aib. Orang yang gagal karier disebut tidak kompeten. Orang yang patah hati disebut lemah. Padahal justru di titik-titik itulah manusia bertemu dengan dirinya yang paling jujur. Di sana, topeng sosial terlepas, ambisi memudar, dan hati jadi sunyi, cukup sunyi untuk bisa mendengar bisikan Ilahi.
Kehilangan mengajarkan kita sesuatu yang tidak bisa diajarkan oleh kemenangan, bahwa tidak ada yang benar-benar milik kita. Semua yang kita sebut “punyaku” hanyalah titipan. Bahkan tubuh yang kita rawat pun suatu hari akan dikembalikan. Kesadaran ini bukan untuk membuat kita pesimis, tapi justru membebaskan. Karena ketika kita sadar bahwa semua milik-Nya, kita bisa mencintai tanpa takut kehilangan, memberi tanpa berharap kembali, dan bekerja tanpa terikat pada hasil.
Innalilahi wa inna ilayhi rajiun. Kalimat sederhana tapi mendalam. Ia mengubah cara pandang: dari rasa kehilangan menjadi rasa pengembalian. Dari rasa sedih menjadi rasa syukur. Bahwa kita sedang tidak kehilangan tapi sedang mengembalikan ke hak pemiliknya.
Dan di titik itu, kita mulai mengerti: ternyata pulang kepada Allah bukan berarti meninggalkan dunia, tapi melihat dunia dengan mata yang baru. Kita tetap bekerja, mencintai, berjuang, tapi tidak lagi dengan rasa takut. Karena kita tahu, ada sandaran yang tidak pernah runtuh.
Hilangnya pegangan dunia bukan tanda kita ditinggalkan. Justru itulah cara agar kita belajar menemukan sandaran sejati, yang tak tergoyahkan, yang memberi ketenangan, yang membuat hati pulang.

