Pada akhirnya ada satu titik dalam hidup di mana semua gerak berhenti. Pikiran tidak lagi berputar, rasa kehilangan daya, dan tak lagi mampu menetapkan harap, kehendak, keinginan. Di titik itu, dunia tiba-tiba terasa seperti panggung kosong setelah pertunjukan selesai, kursi-kursi penonton sunyi, lampu mati, dan hanya sisa ketukan langkah yang tak tahu ke mana arah pulang.
Sejak kepergian mendadak mas Saif, aku sering duduk lama, terdiam, tidak untuk mengenang, tapi untuk belajar menghadapi yang pasti, kematian. Ia bukan sekadar pengingat di tengah kabar duka, tapi sesuatu yang selalu berjalan bersama setiap detik hidupku. Ia adalah sesuatu yang sangat dekat, lebih dekat dari notifikasi di ponselku, lebih cepat dari detak jantung di antara dua helaan napasku.
Aku membayangkan hari ketika ruh menatap dunia untuk terakhir kalinya, sebelum ia dipisahkan dari tubuh yang selama ini ia kira rumahnya. Saat itulah aku tersadar bahwa semua yang kita perjuangkan mati-matian hanyalah mimpi yang terlalu panjang. Rumah yang kucicil, jabatan yang terlalu kukejar, pengakuan yang kupahat di media sosial, semuanya larut seperti pasir disapu ombak.
Dan di titik itu, barulah realita sesungguhnya dimulai. Bukan dunia yang kini aku sebut “nyata”, melainkan kehidupan setelahnya, tempat di mana semua balasan dibuka dan segala janji menjadi fakta. “jadi selama ini semua hal itu hanya lah mimpi, ilusi, fiksi dan imajinasi,” demikianlah kejutku.
Kita hidup di zaman yang sibuk melupakan kematian. Orang berlomba-lomba menunjukkan kehidupannya, seolah-olah abadi. Kita terlalu takut terlihat menderita, terlalu cepat menyembunyikan segala keterbatasan dengan filter dan caption. Padahal, keterbatasan itu justru tanda bahwa kita masih hidup dan masih punya kesempatan memperbaiki diri. Ironisnya, semakin kita menolak membicarakan kematian, semakin hampa kehidupan terasa. Kita kehilangan arah karena terlalu sibuk mempercantik peta dunia yang fana.
“Barang siapa yang mengenal hakikat dunia, niscaya kesedihannya akan berkurang terhadap apa yang hilang darinya.” Imam Ibnul Qayyim
Kematian bukan akhir dari segalanya, ia adalah pengingat siapa diri kita sebenarnya. Ia membongkar kepalsuan lantas menuntut kejujuran yang tak bisa lagi disembunyikan. Dan mungkin, justru karena kematian itu pasti, maka kehidupan menjadi berarti. Karena waktu yang terbataslah, cinta menjadi berharga. Karena umur yang singkatlah, kebaikan menjadi mendesak untuk segera dilaksanakan.
Maka hari ini, sebelum tidur malam ini, sebelum sibuk lagi esok pagi, aku bertanya pada diri sendiri,
Apakah aku benar-benar hidup, atau hanya sedang memperpanjang mimpi yang sebentar lagi akan berakhir?


